Tugas Sejarah Australia : Australia, Islam dan Terorisme

“Indonesia telah menjadi bagian agenda asing terkait perang melawan terorisme. Untuk itu produk hukum terkait terorisme pun harus seijin pihak asing. Dalam hal ini, revisi UU Terorisme  yang sedang dibahas harus mendapat ijin pihak Australia. Demikian disampaikan pengamat intelijen, Herman Y  Ibrahim mengomentari rencana Kementerian Hukum dan HAM yang akan mempresentasikan revisi UU Teroris di Australia, pada 17 Februari 2012. Menkum HAM Amir Syamsuddin berdalih, presentasi ini sebagai hal lumrah, sebab kedua negara memiliki hubungan kerja sama terkait isu-isu terorisme. Namun demikian, Herman menyesalkan kerjasama itu. Menurut Herman, Australia memiliki agenda khusus di Indonesia, yakni Indonesia harus menjalankan operasi intelijen mencari musuh-musuh Barat. Di mana, musuh yang dimaksud adalah kelompok Islam yang dituding sebagai kelompok teroris. “Presentasi revisi UU Teroris di Australia menunjukkan bahwa terorisme, mulai dari isunya, sudah dimulai dari pihak asing. Bahkan sampai pada implementasi perang terhadap terorisme adalah perang terhadap kelompok Islam,” tegas Herman kepada itoday (14/2). Dalam pandangan Herman, Indonesia, negara yang sangat rentan terhadap perpecahan. Bahkan NKRI rentan runtuh seperti halnya Uni Soviet atau Yugoslavia. Sebagai negara multi ras, Indonesia mudah dipecah belah. “Rand Corporation adalah yayasan Yahudi yang terus mencoba memecahbelah Indonesia. Setelah presentasi ini, revisi akan menghasilkan UU Teroris yang lebih keras lagi. Yang diakomodir adalah kepentingan asing, bukan umat Islam, mayoritas penduduk Indonesia,” tegas Herman. Herman juga mengkritisi peran DPR dalam proses revisi UU Teroris. “DPR mudah dibeli, semua UU ala asing lolos di DPR. Banyak UU yang di-judicial review di MK, karena bertentangan dengan hak rakyat, termasuk UU Terorisme. UU Terorisme sangat perlu untuk pengalihan isu kegagalan pemerintah. Keberhasilan pemerintah di satu sisi cuma satu, pemberantasan terorisme,” sesal Herman.[1]

 

Isu-isu politik memberikan tantangan baru. Setelah serangan teroris 11 September dan kemudian bom Bali, London dan Madrid, pemerintah Australia yang liberal mengadopsi serangkaian kebijakan luar negeri dan dalam negeri yang secara luas dianggap merugikan dan bias terhadap umat Islam.

Aliansi pemerintah Australia dengan Amerika Serikat dalam Perang melawan Teror mengambil tentara Australia ke Irak dan Afghanistan-perang yang dianggap oleh banyak orang sebagai menjadikan umat Islam target. Kasus Irak secara khusus telah menghasilkan kegelisahan di kalangan umat Islam Australia.

Mereka tidak dapat memahami mengapa Pemerintah Australia mengabaikan sentimen mayoritas menentang perang, yang dinyatakan di publik jalan-jalan besar kota Melbourne dan Sydney, dan memilih untuk terlibat dalam perang dengan dasar hukum yang meragukan. Apakah aliansi dengan Amerika Serikat lebih penting daripada menghormati hukum internasional?

Keterlibatan Australia dalam perang melawan teror merupakan pengalaman pengasingan bagi banyak umat Islam. Hal ini menjadi lebih nyata dengan adopsi undang-undang anti-teror. Undang-undang ini telah dikritik oleh organisasi sipil liberal dan kelompok Muslim sebagai penargetan warga Muslim, daripada dugaan tidak bersalah bagi mereka.

Kekuatan badan-badan keamanan untuk menahan tersangka teror tanpa perlu memberikan bukti atau mengenakan kasus itu kepada proses peradilan, melemahkan tersangka untuk membela diri. Tersangka teroris menjadi tersangka bersalah sampai dibuktikan sebaliknya. Membuktikan bahwa mereka bukan teroris adalah hal yang mustahil, dan banyak mengkhawatirkan bahwa umat Islam diletakkan dalam posisi yang mustahil tersebut.

Pada tahun 2007 ketika seorang dokter tamu dituduh ada hubungan dengan sel teror di Inggris, kekhawatiran itu terbukti. Dr. Haneef-nama orang itu-memang akhirnya dibebaskan dari setiap tuduhan, tapi tidak sebelum ia kehilangan pekerjaan dan diusir dari Australia. Ini adalah tragedi pribadi yang dirasakan oleh seluruh penduduk Muslim di Australia. Kasus Haneef adalah kasus yang sangat efektif adalah meniup ke diri umat Muslim rasa kepercayaan diri dan keyakinan di Australia.

Dalam konteks ini, Pemerintah Australia di bawah kepemimpinan John Howard telah terlibat dalam kampanye populis untuk mempresentasikan dirinya sebagai pelindung terbaik bagi Australia. Penekanan pada nilai-nilai Australia dan pengenalan ujian kewarganegaraan, di tengah laporan-laporan media akan warga Irak dan Afganistan yang mencari suaka tiba di pantai Australia, membuat tegang hubungan antara Muslim dan non-Muslim.

Walaupun Australia merupakan sebuah wahana peleburan etnis dan kebudayaan, ia juga memiliki sejarah ketegangan-ketegangan rasial – setiap gelombang migran dan pengungsi berhadapan dengan berbagai tingkat permusuhan. Para migran Muslim khususnya, yang hanya mencakup sekitar 1,5 persen dari keseluruhan populasi, dianggap bermasalah oleh banyak non-Muslim Australia, terlebih setelah serangan-serangan 11 September.

Warga Non-Muslim Australia cenderung memandang kaum Muslim sebagai sebuah kelompok homogen dan gagal membedakan antara orang Muslim dengan orang yang berasal-usul Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara, atau bahkan antara sekte-sekte utama Islam. Sebagian khawatir bahwa warga Muslim Australia, sebagai sebuah kelompok, bertujuan untuk menerapkan shariah, bahwa kesetiaan mereka lebih terletak pada nilai-nilai Islam daripada Australia, dan bahwa kaum muda Muslim rentan terseret ke arah keyakinan-keyakinan ekstremis.

Isu “terorisme Islam” masih hangat. Dunia masih terus membicarakannya sebagai sebuah ancaman besar, sebuah kejahatan kemanusiaan. Dan semua memandangnya dengan sinisme, kebencian dan kutukan, termasuk orang-orang Islam sendiri. Dan hampir semua berbicara dipermukaan, hampir semua melupakan akar-akar masalah. Karena memisahkan dengan akar dan konteks masalah, hampir semua melihatnya sebagai sebuah kejahatan. Karena melupakan akar dan konteks, hampir semua solusi tidak mendasar, tidak radikal, hanya kulit luar[2].

Sejak fenomena ledakan bom muncul mewarnai jagat politik Indonesia tahun-tahun belakangan ini, wacana tentang terorisme dan agama (Islam) di Indonesia didominasi oleh beberapa pandangan arus utama: Pertama, penghampiran normatif-evaluatif yaitu menyalahkan, mencerca, menilai sebagai tidak sesuai dengan ajaran Islam dan pelaku teror sebagai orang bodoh karena kurang wawasan. Kedua, penghampiran sosiologis yaitu disfungsionalisasi agama, pengatasnamaan agama untuk tujuan tertentu. Ketiga, melihat pelaku teror bom bunuh diri sebagai korban dari grand design sebuah narasi besar Amerika dan Yahudi. Sisanya, penghampiran emosional berupa kutukan dan sumpah serapah, pelaku teror sebagai orang-orang biadab dan tidak berperikemanusiaan. Tak terkecuali, pandangan di atas juga muncul dari kalangan elit umat Islam.

Faktor yang mempengaruhi ketakutan Australia terhadap terrorism

  1. Pemerintah Australia

Permusuhan, ketidakadilan dan masacre yang dilakukan negara-negara Barat terhadap umat Islam di beberapa negeri Muslim selama ini telah sangat menyakitkan hati, melukai dan merobek-robek perasaan. Rasa marah dan upaya pembelaan kemudian mendorong mereka untuk berani melawan dengan perang dan siap mati, dengan cara apapun, terutama kepada negara-negara Barat.

Pilihan tidak menerakan agama Islam dalam kartu identitas sejumlah warga Australia itu terutama terjadi sejak peristiwa teror 11 September 2001 di Amerika Serikat. Ketakutan pemerintah terhadap islam di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah sendiri yang tergabaung dalam blok sekutu dan nilai – nilai permusuhan yang di bawa nenek moyang kulit putih di Australia dengan nila perang salib dan orientalisme.

Perkembangan selanjutkanya mempengaruhi pandangan terhadap dunia islam. Transfer pemikiran pemerintah ini di salirukan kepada masyarakat yang akar dasar masyarakat telah ada dasar untuk membenci silam yang di turunka oleh nenek moyang mereka.

  1. Media

Tampaknya kondisi psikologis pemerintah federal Australia di bawah PM Rudd tetap tak berubah, yakni masih saja tunduk pada “ketakutan” yang ingin diciptakan para radikalis dari serangkaian aksi terorisme mereka tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005.

Media Australia pun umumnya doyan memelihara rasa takut publik negara itu dengan memberikan ruang bagi isu-isu radikalisme dalam Islam dengan mengumbar berita-berita di seputar Ustadz Abu Bakar Ba`asyir secara konsisten, Ustad Ba`asyir sempat dikait-kaitkan dengan insiden Bom Bali 2002 dan pada 3 Maret 2005, tokoh Islam kelahiran Jombang 17 Agustus 1938 ini divonis bersalah dalam Bom Bali 2002 dan dihukum 2,6 tahun penjara. Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006.  Dalam persoalan Ba`asyir, Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith pun pernah angkat bicara. Pada 24 Maret lalu misalnya, ia mengeluarkan pernyataan pers khusus yang mengecam seruan kontroversial Pemimpin Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, ini agar umat Islam bersikap keras terhadap para turis Australia yang tidak menghormati cara-cara Islami. Seruan kontroversi pemimpin Majelis Mujahiddin Indonesia itu mencuat ke publik Australia setelah media setempat mempublikasikan isi rekaman video ceramah agama Ba`asyir di depan ratusan warga desa di Jawa Timur, Oktober 2007[3].

Ketakutan dan salahpaham publik Australia terhadap Indonesia yang dipicu oleh hal-hal semacam kontroversi Ustadz Ba`asyir agaknya sengaja dipelihara oleh media walaupun pada saat yang sama, Menlu Stephen Smith sendiri juga memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Indonesia dalam menumpas jaringan terorisme.

Menlu Smith berulang kali mengapresiasi keberhasilan Indonesia dalam menghukum setidaknya 180 orang pelaku aksi terorisme sejak tahun 2000 namun level status “travel advisory” Indonesia tetap tak kunjung berubah.

Dalam masalah terorisme, tak ada yang bisa menyangkal fakta bahwa rakyat Indonesia dan Australia sama-sama merupakan korban kekerasan para militan seperti terlihat dalam insiden 2002, 2004, dan 2005. Karenanya, terorisme merupakan musuh bersama kedua bangsa.
Hanya saja, tanpa bermaksud menafikan tanggungjawab pemerintah Australia terhadap keselamatan jiwa warganya di luar negeri dan apalagi mengecilkan perih di hati para keluarga korban bom Bali 2002 dan 2005 di negara itu, apakah pantas jika Canberra terus-menerus menyamakan kondisi Indonesia dengan Pakistan atau Zimbabwe.

 

 

Daftar Pustaka

CM Rien Kuntari, Timor Timur Satu Menit Terakhir Catatan Seorang Wartawan, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2009

Jenny Edkin – Nick V. Wiliams, Teori – Teori Kristis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, Yogyakarta, Pustaka Baca, 2010

Ed. Alison Broinowski, DOUBLE VISION Asian Accounts of Australia, Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia, 2004 ebook dalam bentuk pdf

Commonwealth Copyright Administration Attorney General’s Department Robert Garran Offices, National Circuit Barton ACT 2600, ISBN 978 1 921446 43 6 Diterbitkan Oktober 2007

Vibhanshu Shekhar, Asia-Pacific Community Options and Opportunities for India, 2008, New Delhi, India, IPCS http://www.ipcs.org/pdf_file/issue/2048701077IPCS-IssueBrief-No74.pdf

Defending Australia In The Asia Pasific Century: Force 2030

http://www.defence.gov.au/whitepaper/docs/defence_white_paper_2009.pdf

Biro Statistik Australia Www.Abs.Gov.Au Telah Diterjemahkan Kedalam Google Translate Tanggal 24 Januari 2012 Biro Meteorologi Australia Www.Bom.Gov.Au Diterjemahkan Kedalam Google Translate Tanggal 24 Januari 2012

Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesempatan Setara www.hreoc.gov.au

http://www.itoday.co.id/politik/5054-revisi-uu-teroris-harus-ijin-australia di unduh rabu tanggal 2 April 2012

http://dokumen.mitrasites.com/kedutaan-besar-australia.html

[1] http://www.itoday.co.id/politik/5054-revisi-uu-teroris-harus-ijin-australia di unduh rabu tanggal 2 April 2012

[3] Australia Tetap “Tunduk” pada Teroris di Indonesia Brisbane (ANTARA News)

Leave a comment